-->

Belajar Kaitan Puisi Dan Fisika

Puisi Bertumpu pada Kata, Fisika Bersandar pada Aksara

Meminjam Shakespeare, apalah arti y = x + 1! Bagi banyak orang, persamaan itu tak lebih pernyataan abnormal belaka. Ia tak bermakna apa pun, berada pada jarak yang jauh dari realitas. Simbol-simbol abnormal itu tak mewakili sesuatu yang benar-benar eksis. Maka, semula, membayangkan E = mc2 atau E = hf (yang digubah oleh Max Planck, lebih dahulu daripada Albert Einstein) akan mengubah pandangan-dunia perihal bahan ialah kemustahilan belaka.

Tapi, tidak demikian bagi sejumlah fisikawan yang berhasil menanamkan namanya ke dalam persamaan-persamaan itu: Planck, Einstein, maupun Dirac--untuk menyebut beberapa dari yang sedikit (dari ratusan ribu ilmuwan riset yang pernah hidup, sangat sedikit persamaan penting yang terkait dengan nama mereka). Bagi mereka, persamaan mendasar ialah verbal keseimbangan yang sempurna. Bom yang jatuh di Nagasaki dan Hiroshima merupakan verbal kasatmata dari keseimbangan bahan dan energi dalam E = mc2.

Seperti kebanyakan persamaan-besar lainnya, rumusan yang diusulkan Einstein pada 1905 itu menyatakan kesetaraan yang secara superfisial amat berbeda: energi, massa, dan kecepatan cahaya di dalam vakum. Lewat persamaan inilah Einstein meramalkan bahwa untuk setiap massa (m), kalau Anda mengalikannya dengan kuadrad dari kecepatan cahaya di dalam vakum (c), jadinya ialah persis sama dengan energi yang bersangkutan (E). Layaknya setiap persamaan-besar lain, E = mc2 menyeimbangkan dua kuantitas.

Persamaan yang menghebohkan ini mengundangkan spekulasi dikala pertama kali dipublikasi. Baru beberapa dekade lalu persamaan ini menjadi kepingan dari sel-sel darah pengetahuan ilmiah, sehabis ilmuwan-eksperimental mengatakan bahwa begitulah yang terjadi dengan alam semesta kita. Bahkan dunia benar-benar terkejut tatkala formula yang sederhana itu ternyata bisa menghentikan Perang Dunia II dikala diwujudkan menjadi bom-bom atom yang meledakkan kedua kota penting di Jepang itu.

E = mc2, dalam banyak hal, serupa puisi besar. Ia tak ubahnya soneta tepat yang akan acak-acakan manakal satu not-nya diubah. Tidak satu pun detail dari persamaan-besar menyerupai E = mc2, atau pun E = hf, yang sanggup diubah tanpa merontokkan arti persamaan itu. Persamaan-besar juga menyebarkan dengan puisi-indah suatu kekuatan luar biasa--puisi ialah bentuk bahasa paling dan berbobot, sebagaimana persamaan ilmiah ialah bentuk pemahaman paling ringkas terhadap realitas fisik yang digambarkannya. E = mc2 sangatlah digdaya: simbol-simbolnya memadatkan-ke-dalam-kapsul-pengetahuan yang sanggup diterapkan untuk setiap konversi energi, dari setiap sel dari setiap benda hidup di muka bumi sampai ledakan kosmis pada jarak yang amat jauh.

Terhadap imajinasi, persamaan-besar ialah stimulus yang sama kaya dan menggairahkannya dengan puisi. Sebagaimana Shakespeare membangkitkan aneka macam ide lewat puisi-puisi dalam dramanya, Einstein merangsang imajinasi fisikawan dalam meramalkan konsekuensi-konsekuensinya. Meski, tak berarti keserupaan itu bermakna kesamaan. Setiap puisi ditulis dalam bahasa partikular dan kerap kehilangan daya magisnya begitu diterjemahkan, persamaan-besar tidak. Sebab, ia diekspresikan dalam bahasa universal. E = mc2 dalam bahasa Inggris sama saja dengan E = mc2 dalam bahasa Jawa.

Puisi mencari aneka macam makna dan membuka interaksi antara kata-kata dan pikiran-pikiran, sementara ilmuwan meniatkan persamaan mereka untuk menyatakan makna logis yang tunggal. Bila puisi bertumpu pada kata, fisika bersandar pada abjad dan angka. Keduanya memang bercerita perihal dunia dengan caranya sendiri.

Para pemikir takluk di hadapan teka-teki perihal mengapa begitu banyak aturan alam sanggup ditulis secara meyakinkan dalam bentuk persamaan matematis. Mengapa begitu banyak aturan alam yang sanggup diekspresikan sebagai imperatif absolut, bahwa dua kuantitas yang sepertinya tidak berafiliasi (sisi-sisi kiri dan kanan persamaan) ialah sama secara eksak? Salah satu penjelasannya, yang mungkin terdengar bercanda, ialah bahwa Tuhan itu matematikawan.


Sumber : Koran Tempo (17 Maret 2002)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel